Otonomi Daerah dan Hak Memiliki & Mengelola Kekayaan Sendiri
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah menuju kemandirian
lokal, maka di dalam upaya mereform perundang-undangan tentang otonomi
daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah membawa
nuansa dan paradigma baru yang jauh berbeda dengan Undang-Undang
sebelumnya. Dengan demikian diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu
menyelenggarakan otonomi daerahnya, terletak pada kemampuan keuangan
daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan
untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan
keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus
seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi
bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijaksanaan
perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam
sistem pemerintahan negara. Sumber pembiayaan dalam rangka perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sumber pembiayaan
penyelenggaraan otonomi daerah seperti yang tertuang di dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79 telah memberikan landasan
yuridis tentang pemberian sumber pendapatan daerah dapat dibagi kedalam 4
golongan , yaitu :
- 1) Pendapatan Asli Daerah, yaitu :
- (a) Hasil pajak daerah
- (b) Hasil retribusi daerah
- (c) Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
- (d) Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.
- 2) Dana perimbangan
- 3) Pinjaman Daerah, dan
- 4) Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79).
- Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari
sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sumber-sumber yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan
pelaksanaannya yaitu PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP
Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Untuk mendorong efisiensi,
maka Undang-Undang mengenai pajak dan retribusi ini (dikenal sebagai
Undang-Undang PDRB) memberikan suatu penyederhanaan atas banyaknya jenis
pajak dan retribusi di masa lalu yang cenderung mengakibatkan timbulnya
biaya ekonomi yang tinggi. Berdasarkan Undang-Undang ini, jumlah pajak
dan retribusi daerah relatif berkurang. Untuk mengantisipasi
desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) masih belum diandalkan oleh daerah sebagai sumber
pembiayaan desentralisasi dikarenakan beberapa hal sebagai berikut :
- a) Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah;
- b) Peranannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah;
- c) Kemampuan perencanaan dan administrasi pemungutan di daerah yang
masih rendah sehingga cenderung pemungutan pajak dibebani oleh biaya
pungut yang besar. d) Pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan
penerimaan daerah mengalami kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
daerah.
- Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaana APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya jumlah dana perimbangan ini
ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Hal ini sejalan dengan
tujuan pokok dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan perekonomian daerah ; menciptakan sistem
pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan,
partisipatif, bertanggung jawab, dan berupaya mewuijudkan sistem
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung pelaksanaan
otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dalam kemampuannya
untuk membiayai tanggungjawab otonominya, dan memberikan kepastian
sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang
bersangkutan. Menyangkut soal dana perimbangan, ditetapkan atas dasar
perhitungan prosentase tertentu dari seluruh realisasi penerimaan dalam
negeri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 80, dana perimbangan terdiri
dari :
- a)Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya
alam;
- b) Dana Alokasi Umum; dan
- c) Dana Alokasi Khusus.
a). Bagi Hasil Penerimaan Negara Bagi hasil
penerimaan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam. Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) merupakan Pajak yang dikenakan atas Bumi dan
Bangunan. Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau Badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
Bangunan. Yang menjadi objek pajaknya adalah Bumi dan/atau bangunan.
Pengertian Bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada dibawahnya,
sedangkan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Penerimaan Negara dari Pajak
Bumi dan Bangunan dibagi dalam imbangan 10 % (sepuluh persen) untuk
Pemerintah Pusat dan 90 % (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
Selanjutnya 10 % (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
bagian pemerintah pusat sebagaimana pembagian diatas dibagikan kepada
seluruh Kabupaten dan Kota. Alokasi pembagian ini didasarkan atas
realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun anggaran berjalan.
Besarnya alokasi pembagian tersebut diatur sebagai berikut : Bahwa 65 %
(enam puluh lima persen) dibagikan secara merata dengan porsi yang sama
besar kepada seluruh Kabupaten dan Kota, kemudian 35 % (tiga puluh lima
persen) dibagikan sebagai insentif kepada Kabupaten dan Kota yang
realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan
perkotaan berhasil melampaui rencana penerimaan yang telah ditetapkan
pada Tahun Anggaran sebelumnya.
Bea perolehyan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Tarif
pajaknya adalah 5 % dari dasar pengenaan pajak yaitu Nilai Perolehan
Objek Pajak. Perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan
bangunan oleh orang pribadi atau badan. Kemudian Penerimaan Negara dari
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 %
(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh
persen) untuk Daerah. Selanjutnya bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan sebesar 80 % di atas di bagi untuk daerah
dengahn rincian bahwa 16 % (enam belas persen) untuk daerah Provinsi
yang bersangkutan disalurkan ke rekening Kas Daerah Provinsi, dan 64 %
(enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan
disalurkan ke rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian yang menjadi
bagian dari Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota
untuk pemerataan 10 % (sepuluh persen) dari penerimaan PBB dan 20 %
(dua puluh persen) dari BPHTB. Selanjutnya yang dimaksud dengan Bagian
Daerah dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian daerah dari
penerimaan negara yang berasal dari pengtelolaan sumber daya alam,
antara lain di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas
bumi, kehutanan, dan perikanan. Penerimaan Negara dari sumber daya alam
sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi
dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80 %
(delapan puluh persen) untuk Daerah. Sedangkan Penerimaan Negara dari
sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan
dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai
berikut :
- a) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari
wilayah daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dibagi dengan imbangan 85 % (delapan puluh lima persen)
untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.
- b) Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari
wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dibagi dengan imbangan 70 % (tujuh puluh persen) untuk
Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas persen) untuk Daerah.
Bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam dari
sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang
diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut : 1)
Sektor Kehutanan dibagi sebagai berikut :
- a) 80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan perincian :
(a) Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen); (b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
- b) 80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Provinsi Sumber Daya Hutan di bagi dengan perincian :
(a) Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen); (b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen); (c)
Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar
32 % (tiga puluh dua persen).
2) Sektor Pertambangan Umum dibagi sebagai berikut :
- a) 80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) di bagi dengan perincian :
(a) Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen) (b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
- b) 80 % (delapan puluh persen) dari penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (royalty) dibagi dengan perincian :
(a) Bagian Provinsi sebesar 16 % (enam belas persen); (b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen); (c)
Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar
32 % (tiga puluh dua persen). 3) Sektor Perikanan Sebanyak 80 %
(delapan puluh persen) dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan
Hasil Perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di
Indonesia. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor perikanan
terdiri dari :
- Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan
- Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Minyak Bumi diperinci sebagai berikut.
- a) Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 3 % (tiga persen);
- b) Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6 % (enam persen);
- c) Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen).
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Gas Alam dibagi dengan perincian sebagai berikut :
- a) Bagian Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen);
- b) Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12 % (dua belas persen);
- c) Bagian Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 12 % (dua belas persen).
Lebih jauh pengaturan kedua sumber Penerimaan Negara ini yang menjadi
porsi Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
Dengan perkataan lain bahwa secara nominal kedua sumber penerimaan ini
seluruhnya milik daerah, walaupun ada intervensi Pemerintah Pusat dalam
skala yang relatif kecil sebagai penyangga keseimbangan penerimaan antar
daerah. Bagi hasil penerimaan negara dari sumber daya alam secara rinci
dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5.7. Persentase Alokasi
Bagi Hasil Penerimaan dari Sumber Daya Alam.
Sumber Daya Alam |
Pusat |
Propinsi |
Kab/KotaPenghasil |
Kab/KotaLainnya |
Minyak |
85 % |
3 % |
6 % |
6 % |
Gas Alam |
70 % |
6 % |
12 % |
12 % |
Pertambangan Umum: Iuran Tetap (Land-rent) |
20 % |
16 % |
64 % |
0 % |
Pertambangan Umum: Iuran Explorasi dan Exploitasi (Royalti) |
20 % |
16 % |
32 % |
32 % |
Hutan: Iuran Hasil Pengusahaan Hutan (IHPH) |
20 % |
16 % |
64 % |
|
Hutan: Provinsi Sumber Daya Hutan (SDH) |
20 % |
16 % |
32 % |
32 % |
Perikanan: Pungutan Pengusahaan dan Hasil Perikanan |
20 % |
|
80 % |
|
Sumber: Undang-undang No.25 Tahun 1999 Sumber penerimaan daerah dari
bagi hasil memang secara explisit telah ditujukan gambaran nominalnya
dalam bentuk persentase. Berdasarkan rumusan yang demikian posisi
masing-masing daerah otonom sebetulnya pada pengkajian terukur terhadap
sumber-sumber penerimaan. Melalui gambaran demikian, paling tidak
setelah diberlakukannya Undang-Undang secara langsung dapat terdeteksi
konstribusi penerimaan daerah otonom dari sumber-sumber ini dalam
konteks fiskal daerah. Lebih jauh yang menjadi pertanyaan adalah melalui
prinsip alokasi dana berdasarkan daerah penghasil seperti itu tentu
akan sangat bervariatif dampaknya kepada masing-masing daerah otonom.
Daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang signifikan
seperti Kalimantan Timur, Riau, Irian Jaya, Aceh, dan lainnya tentu akan
memiliki alokasi yang besar yang memang telah dijaminkan dalam
Undang-Undang persentase keberadaannya. Bagi daerah yang “kurang”
potensi sumber daya alam memang akan berdampak cukup serius pada posisi
fiskal daerah, khususnya dari sisi penerimaan (
revenue side-nya).
Melalui Undanag-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kondisi yang demikian akan
dikompensasi melalui dana perimbangan yang berupa alokasi umum,
disamping juga dana alokasi khusus.
Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka Desentralisasi.
Penggunaan Dana Alokasi umum ini ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
Termasuk didalam pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah
jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di seluruh
daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan
merupakan satu kesatuan dan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Penggunaan Dana Alokasi Umum dan penerimaan umum lainnya
dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian
otonomi kepada Daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan dibidang kesehatan dan
pendidikan. Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan
dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi,
jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga
perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat
diperkecil. Yang menjadi isu pokok dalam sistem alokasi dana
perimbangan, sekaligus sebagai titik tolak yang sangat penting dari
setiap bahasan materi dana perimbangan, adalah pada sistem yang kedua,
yaitu bagaimana menentukan nilai
besaran bobot daerah dalam
memperoleh dana perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah,
khususnya untuk perimbangan dana Alokasi Umum untuk masing-masing
Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang dari Penerimaan dalam Negeri Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Secara operasional Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 mengamanatkan bahwa penentuan terhadap nilai besaran bobot
daerah dilaksanakan berdasarkan hasil kajian empiris dengan
memperhitungkan beberapa variabel-variabel yang relevan, antara lain
adalah:
- Variabel Fiskal Needs, untuk kebutuhan wilayah otonomi,
daerah dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan
geografis, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan
beberapa kelompok masyarakat miskin.
- Variabel Fiskal Capacity, potensi Daerah dicerminkan
dengan potensi penerimaan yang diterima daerah seperti potensi industri,
potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk
Domestik Bruto.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memang belum secara eksplisit
mengatur bagaimana mekanisme detail sampai kebesaran nominal sistem
alokasi dana ini. Pengalokasian dana alokasi umujm dilaksanakan melalui
kajian empiris terhadap sistem pengalokasian sumber-sumber keuangan
daerah dari dana perimbangan dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi
daerah serta penyelenggaraan pemerintahan daerah yang adil, rasional dan
transparan, serta mengurangi kesenjangan antar daerah dalam
kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya serta memberikan
kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang
bersangkutan. Tujuan pengkajian adalah untuk menghimpun dan menganalisa
data dan informasi tentang sejumlah kebutuhan dan potensi daerah
sehingga dapat diperoleh rumusan empiris terhadap perhitungan bobot
masing-masing daerah otonom (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam
penerapan sistem pengalokasian dana perimbangan yang bersumber dari
Alokasi Umum. Lebih jauh dari hasil kajian diharapkan tersusunnya suatu
sistem pengalokasian dana perimbangan untuk Alokasi Umum untuk daerah
yang adil, rasional, transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab
(akuntabel) sehingga kesenjangan tingkat kemakmuran antar daerah (
regional disparities)
dapat diperkecil. Operasionalisasinya akan merupakan “PR” daerah dan
pusat melalui Dewan pertimbangan Otonom Daerah (DPOD). Penentuan nominal
alokasi dana perimbangan untuk dana Alokasi Umum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 telah dirumuskan sekurang-kurangnnya
25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dari 25%
tersebut untuk dana alokasi umum daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90%. Besaran nominal
dari setiap masing-masing daerah akan berbeda. Perbedaan besaran
tersebut ditentukan oleh nilai bobot daerah berdasarkan
variabel-variabel kebutuhan dan potensi daerah. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, perhitungan dana Alokasi Umum dapat
diformulasikan secara umum dengan rumusan berikut ini. Dana Alokasi Umum
untuk satu Provinsi tertentu dihitung dengan cara berikut ini:
DAUP X bt.Px/bt Py, dimana
Jumlah dana alokasi umum untuk Daerah Provinsi dikalikan dengan bobot
daerah Provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot dari seluruh
Daerah Provinsi.
DAUP :
Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi (APBN) Bt.Px :
Bobot daerah Provinsi (x) Bt.Py :
Bobot dari seluruh Daerah Provinsi (y) Melalui pendekatan yang sama, dana alokasi umum untuk satu Daerah Kabupaten/Kota tertentu dihitung dengan cara:
DAUK X bt.Kx/bt Ky, dimana
Jumlah dana alokasi umum untuk Daerah Kabupaten/Kota dikalikan dengan
bobot daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot dari
seluruh Daerah Kabupaten/Kota.
DAUK :
Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota (APBN) Bt.Px :
Bobot Daerah Kabupaten (x) Bt.Py :
Bobot dari seluruh Daerah Kabupaten (y)
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, Pengkajian Sistem
Alokasi Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah selayaknya
difokuskan untuk perimbangan pada Dana Alokasi Umum, yaitu melalui data
time-series ekonomi dan keuangan daerah secara kuantitatif
yang diambil dari masing-masing daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
sebagai gambaran empiris perhitungan, sehingga dapat disusun beberapa
skenario besaran nilai “
bobot daerah” dengan
memperhitungkan variabel-variabelnya. Penentuan variabel Dana Alokasi
Umum dalam kajian empiris yang seharusnya juga daerah berkonstribusi
secara proaktif, antara lain meliputi:
- Data keadaan geografis daerah otonom
- Data keadaan perekonomian dan perkembangannya, terutama tentang
rincian agregat Produk Domestik Regional Bruto (baik per-sektor maupun
per-daerah) misalnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
- Data keadaan Pendapatan Asli Daerah dalam kurun waktu lima tahun
terakhir, data keadaan luas wilayah, panjang jalan negara, panjang jalan
Kabupaten/Kotamadya, jumlah pulau, dan data lainnya yang berkaitan
dengan objek kajian.
- Data keadaan kependudukan/jumlah penduduk yang akan dikelompokkan
dalam klasifikasi penduduk produktif dan non produktif serta tingkat
pendapatan masyarakat dari sektor perekonomian antara lain industri
dengan varian-variannya dan pertanian dalam arti luas dengan
memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
- Data jumlah wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten/Kotamadya,
Kelurahan, Kecamatan dan Desa serta data lainnya yang berkaitan dengan
wilayah yuridiksi daerah otonom.
Pengkajian seperti yang dipra-syaratkan oleh Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 selayaknya menggunakan analisa empiris variabel penentu.
Alokasi Umum Dana Perimbangan dari data
time-series yang telah
terkumpul pada tingkat daerah maupun pusat, yang diperhitungkan secara
kuantitatif melalui gambaran tentang kebutuhan dan sumber potensi yang
ada di daerah dalam hubungannya dengan dana perimbangan antara pusat dan
daerah, serta menganalisis hasil perhitungan kebutuhan dan potensi
daerah secara kuantitatif untuk menent ukan jumlah nilai besaran bobt
daerah berdasarkan perhitungan variabel-variabel yang telah ditentukan.
Data yang dibutuhkan untuk kegiatan pengkajian seperti ini mencakup data
kondisi sosial ekonomi wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang akan
dikumpulkan secara sekunder, melalui penggunaan publikasi-publikasi
daerah dan nasional serta sumber lainnya yang dianggap relevan.
Disamping data sekunder, untuk memperluas cakrawala rumusan, juga
diperlukan data primer sebagai data analisis tentang persepsi “
stake-holders”
daerah dari objek kajian. Komponen keluaran yang harus ditargetkan
paling tidak untuk kegiatan pengkajian sebelum diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 seperti yang telah diuraikan
sebelumnya antara lain dapat diperinci sebagai berikut:
- Disain model perhitungan bobot besaran penentuan sistem Dana
Perimbangan untuk Alokasi Umum masing-masing daerah ototnom (Provinsi
dan Kabupaten/Kota).
- Paket perhitungan aplikasi bobot besaran penentuan Dana
Perimbangan untuk Alokasi Umum masing-masing daerah otonom (Provinsi dan
Kabupaten/Kota) sebagai bahan masukan kebijakan bagi Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah, khususnya Sekretariat Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penetapan Alokasi Umum Dana
Perimbangan untuk masing-masing daerah otonom.
- Paket-paket pemutakhiran model sebagai bagian dari kegiatan
pengembangan yang akan dilakukan sebagai komponen keluaran lanjutan
sebagai masukan pada tahun-tahun berikutnya bagi Dewan Pertimbangan
Otonomi daerah yang membidani Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) berfungsi pemerataan antar Daerah dengan
tujuan semua Daerah memiliki kemampuan yang relatif sama untuk membiayai
pengeluarannya dalam pelaksanaan azas desentralisasi. Dana alokasi umum
dialokasikan berdasarkan suatu rumus yang memasukkan unsur potensi
penerimaan Daerah dan kebutuhan objektif pengeluaran Daerah, dan dengan
memperhatikan ketersediaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Jumlah dana Alokasi Umum ditetapkan minimal 25 % (dua puluh lima
persen) dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan ketentuan 90 % (sembilan
puluh persen) untuk Kabupaten/Kota dan 10 % (sepuluh persen) untuk
Provinsi. Perhitungan dana alokasi tersebut dilakukan oleh Sekretariat
Bidang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Dalam hal terjadi perubahan
kewenangan di antara Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota,
persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota, disesuaikan dengan perubahan tersebut. Dalam
memperhitungkan dana alokasi umum untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota,
akan digunakan kriteria potensi daerah dan kebutuhan objektif daerah.
Kriteria daerah ditetapkan berdasarkan :
- a)Kebutuhan wilayah otonomi daerah paling tidak dapat dicerminkan
dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan
tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat
miskin;
- b) Potensi Ekonomi Daerah antara lain dapat dicerminkan dengan
potensi penerimaan yang diterima Daerah seperti potensi industri,
potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB).
Jadi Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Provinsi tertentu
ditetapkan berdasarkan peerkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh
Daerah Provinsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), dengan porsi Daerah Provinsi yang bersangkutan. Porsi
Daerah Provinsi termaksud merupakan proporsi bobot daerah Provinsi yang
bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Provinsi di seluruh
Indonesia. Hasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk tahun 2001
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 2000 tentang Dana
Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran
2001. Besarnya DAU daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/kota tahun
anggaran 2001 adalah Rp.60.516,70 miliar. Sedangkan tahun 2002 juga
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana
Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran
2002. Besarnya DAU untuk tahun anggaran 2002 ditetapkan sebesar 25 %
dari penerimaan Dalam Negeri APBN Tahun anggaran 2002 setelah dikurangi
dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Besarnya DAU
daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota tahun anggaran 2002 adalah
Rp. 69.114,12 miliar. Kemudian besarnya DAU Untuk Provinsi Sulawesi
Selatan adalah Rp. 3.561,67 miliar, sedangkan untuk Kota Makassar
sebesar Rp. 274.48 miliar, Kabupaten Gowa sebesar Rp.173,91 miliar,
Kabupaten Maros sebesar Rp.127,5 miliar dan Kabupaten Enrekang sebesar
Rp.101,97 miliar.
Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana
Alokasi Khusus (DAK) adalah dana perimbangan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada Daerah
untuk membantu membiayai kebutuhan khusus atau kebutuhan tertentu.
Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam
APBN. Dana Alokasi Khusus merupakan bagian dari dana perimbangan sesuai
dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah. Dana Alokasi Khusus dapat
dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus. Yang dimaksudkan dengan Daerah tertentu adalah
daerah-daerah yang mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus.
Pengalokasian Dana Alokasi Khusus memperhatikan ketersediaan dana dalam
APBN berarti bahwa besaran Dana Alokasi Khusus tidak dapat dipastikan
setiap tahunnya. Dengan demikian, sejalan dengan tujuan pokoknya dana
perimbangan dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil,
proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab,
serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari
wilayah daerah yang bersangkutan. Pembiayaan kebutuhan khusus
disyaratkan dana pendamping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Kabutuhan khusus yang dimaksud disini adalah :
- a) Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus,
antara lain kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan
kebutuhan daerah lain misalnya kebutuhan dikawasan transmigrasi,
kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, misalnya pembangunan
jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan atau
- b) Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional,
termasuk antara lain proyek yang dibiayai donor, pembiayaan reboisasi
Daerah dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia.
Dana Alokasi Khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi
pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana
fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Dalam keadaan tertentu Dana
Alokasi Khusus dapat membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan
prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3
tahun. Kriteria teknis sektor/kegiatan yajng dapat dibiayai dari Dana
Alokasi Khusus ditetapkan oleh Menteri Teknis/instansi terkait setelah
berkonsultasi dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sesuai dengan
bidang tugas masing-masing. Sektor/kegiatan yang tidak dapat dibiayai
dari Dana Alokasi Khusus adalah biaya administrasi, biaya penyiapan
proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan
pegawai daerah dan lain-lain biaya umum sejenis. Penerimaan negara yang
berasal dari Dana Reboisasi sebesar 40 % (empat puluh persen) disediakan
kepada Daerah penghasil sebagai bagian Dana Alokasi Khusus untuk
membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil.
Jumlah Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap tahun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan masing-masing bidang
pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dana Alokasi Khusus
dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan kegiatan, dan
sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri Teknis oleh
daerah tersebut dapat berbentuk rencana suatu proyek atau kegiatan
tertentu, atau dapat berbentuk dokumen program rencana pengeluaran
tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta sumber-sumber
pembiayaannya. Bentuk usulan daerah tersebut berpedoman pada kebijakan
instansi teknis terkait, kecuali usuloan tentang proyek/kegiatan
reboisasi yang dibiayai dari bagian dana reboisasi. Bila sektor/kegiatan
yang diusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat
diperhitungkan, daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu
membiayai seluruh pengteluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan
Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan bangunan, Bagian Daerah
dari penerimaan sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, pinjaman daerah,
dan lain-lain penerimaan yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan
sepenuhnya oleh daerah. Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan dana
pendamping dari Penerimaan Umum APBD. Untuk menyatakan komitmen dan
tanggung jawab daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan
kebutuhan khusus tersebut, perlu penyediaan dana dari sumber Penerimaan
Umum APBD sebagai pendamping atas Dana Khusus dari APBN. Porsi dana
pendamping ditetapkan sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen), kecuali
pembiayaan kegiatan reboisasi yang berasal dari Dana Reboisasi.
Pengelolaan Dana Alokasi Khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah, Menteri Teknis terkait dan instansi yang membidangi
perencanaan pembangunan nasional. Menteri teknis/instansi terkait
melakukan pemantauan dari segi teknis terhadap proyek/kegiatan yang
dibiayai dari Dana Alokasi Khusus. Pemantauan Menteri Teknis/instansi
terkait bertujuan untuk memastikan bahwa proyek/kegiatan yang dibiayai
Dana Alokasi Khusus tersebut sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang
ditetapkan. Pemeriksaan atas penggunaan Dana Alokasi Khusus oleh daerah
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan alokasi Dana Alokasi Umum disesuaikan dengan proses penataan
organisasi pemerintahan daerah dan proses pengalihan pegawai ke daerah.
Dalam masa peralihan, Dana Alokasi Umum dialokasikan kepada daerah
dengan memperhatikan jumlah pegawai yang telah sepenuhnya menjadi beban
daerah, baik pegawai yang telah berstatus sebagai pegawai daerah sebelum
1 januari 2001 maupun pegawai pemerintah pusat yang dialihkan menjadi
pegawai daerah.
Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah adalah
semua transaksi yangt mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain
sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut
dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka
pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Pinjaman Daerah merupakan
salah satu sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Dana Pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber
penerimaan Daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan
prasarana Daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengtan kegiatan
yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk
mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan
masyarakat. Sebagaimana layaknya suatu daerah otonom, pinjaman daerah
bukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
juga secara khusus mengindikasikan 5 pasal tentang hal ini yaitu pasal
11, 12, 13,14, dan 15. Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. Pada
prinsipnya daerah otonom dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam
negeri (pemerintah pusat, lembaga komersial, atau penerbitan obligasi
daerah) untuk membiayai sebagian kebutuhan fiskalnya, sedangkan pinjaman
dari sumber luar negeri diadministrasikan melalui Pemerintah Pusat.
Berdasarkan jenisnya pinjaman bisa dalam bentuk jangka panjang yang
ditujukan untuk pembiayaan prasarana sebagai aset daerah yang berkaitan
dengan pelayanan sektor publiknya. Pinjaman dalam bentuk jangka pendek
dimungkinkan, khususnya untuk pengaturan arus kas dalam rangka
pengelolaan kas daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 menetapkan
bahwa Pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana pinjaman merupakan
pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah nyang ada dan ditujukan
untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang
berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkanpenerimaan yang
dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat
bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan pula
melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka
pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah. Pinjaman daerah perlu
disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup
berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat dae5rah
dalam mengelola Pinjaman Daerah. Untuk meningkatkan kemampuan objektif
dan disiplin Pemerintah Daerah dalakm melaksanakan pengembalian
pinjaman, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan
Pinjaman Daerah. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih
lanjut hal-hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan mengantisipasi
kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya
mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekonomian
nasional. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari :
- Pinjaman Daerah dari dalam negeri bersumber dari :
- Pemerintah Pusat. Ketentuan-ketentuan mengenai pinjaman yang
bersumber dari pemerintah pusat seperti jenis, jangka waktu pinjaman,
masa tenggang, tingkat bunga, pengadministrasi dan penyaluran dana
pinjaman, ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
- Lembaga Keuangan Bank. Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber
dari lembaga Keuangan Bank mengikuti ketentuan peraturan
perumdang-undangan yang berlaku.
- Lembaga Keungan bukan Bank. Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang
bersumber dari Lembaga Keungan bukan Bank menikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Masyarakat. Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat antara
lain melalui penerbitan Obligasi Daerah. Pelaksanaan penerbitan dan
pembayaran kembali Obligasi Daerah mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Sumber lainnya, Pinjaman Daerah selain sumber tersebut di atas, misalnya Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah lain.
- Pinjaman Daerah dari luar negeri dapat berupa pinjaman bilateral
atau pinjaman multilateral. Pinjaman daerah terdiri dari 2jenis yaitu
Pinjaman jangka panjang dan pinjaman jangka pendek.
Penggunaan Pinjaman Daerah
- a) Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan
penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat
bagi pelayanan masyarakat. Yang dimaksud dengan “menghasilkan
penerimaan”adalah hasil penerimaan yang berkaitan dengan pembangunan
prasarana yang dibiayai dari pinjaman jangka panjang tersebut, baik yang
langsung dan/atau yang tidak langsung.
- b) Pinjaman jangka panjang tidak dapat digunakan untuk membiayai
belanja administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan.
Daerah dapat melakukan pinjaman Jangka Pendek guna pengaturan kas
dalam rangka pengelolaan kas daerah. Pinjaman Jangka Pendek dapat
digunakan untuk:
- a) Membantu kelancaran arus kas untuk keperluan jangka pendek.
- b) Dana talangan tahap awal suatu investasi yang akan dibiayai
dengan Pinjaman Jangka Panjang, setelah ada kepastian tentang
tersedianya Pinjaman Jangka Panjang yang bersangkutan.
Daerah dapat juga memperoleh dana darurat, yaitu dana yang
dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk keperluan mendesak,
misalnya jika terjadi bencana alam, dan sebagainya. Pengaturan lebih
lanjut dari dana darurat ini dilakukan melalui peraturan pemerintah.
Dengan dialokasikannya dana yang lebih besar dan lebih pasti kepada
daerah, diharapkan daerah akan lebih mampu untuk memacu pembangunan
daerah, sehingga kesenjangan pertumbuhan antar daerah dapat dikurangi.
Demikian pula, pembagian dana yang rasional dan adil pada daerah-daerah
penghasil sumber utama penerimaan keuangan negara, akan lebih
memeratakan pembangunan, mengurangi kesenjangan sosial, dan meredam
ketidakpuasan daerah. Oleh karena itu, daerah akan lebih respek terhadap
pusat, sehingga hubungan yang harmonis antara pusat dan daerah lebih
meningkat, serta integrasi nasional akan lebih kuat. Sumber :
http://muliadarmawan.blogspot.com/2012/03/otonomi-daerah-kepemilikan-pengelolaan.html?showComment=1411611390545#c784000601117941264